Indonesia dan Malaysia panas bagaimana sikap orang Aceh dari dulu sampai sekarang.
Portugis saja kita usir apa lagi yang lain
Ketika Portugis dan Belanda berebut pengaruh di tanah Aceh, Kesultanan Aceh Darussalam justru mengalami konflik internal. Pada April 1604, anak kedua Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal, yaitu Sultan Muda, melakukan kudeta terhadap ayahnya sendiri, lalu memproklamirkan dirinya menjadi sultan dengan gelar Sultan Ali Ri`ayat Syah. Sebelumnya, Sultan Muda pernah diangkat sebagai wakil Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal, untuk memimpin Pedir yang telah berhasil ditaklukkan. Namun, karena kinerja Sultan Muda dinilai tidak memuaskan, maka kemudian ia ditarik kembali ke Aceh Darussalam untuk membantu ayahnya sekaligus mendalami pengalaman dalam mengelola pemerintahan. Kedudukan Sultan Muda di Pedir digantikan oleh saudaranya, Sultan Husin, yang sebelumnya diserahi tugas untuk mengkoordinir wilayah Pasai. Dari sinilah mulai timbul keinginan dari Sultan Muda untuk merebut tahta ayahnya, terlebih lagi sang putra mahkota, anak pertama Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal yang bernama Mahadiradja, telah gugur dalam suatu pertempuran. Tidak lama kemudian, masih di tahun 1604 itu, Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal akhirnya menutup mata.
Pemerintahan baru di bawah komando Sultan Muda alias Sultan Ali Ri`ayat Syah ternyata menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa pihak, termasuk dari saudaranya sendiri, yakni Sultan Husin yang berkuasa di Pedir. Rasa tidak puas atas kepemimpinan Sultan Ali Ri`ayat Syah di Kesultanan Aceh Darussalam juga ditunjukkan oleh seorang anak muda yang pemberani, bernama Darma Wangsa atau yang dikenal juga dengan panggilan kehormatan: Perkasa Alam. Karena Sultan Ali Ri`ayat Syah memandang bahwa pergerakan Perkasa Alam cukup membahayakan, maka kemudian Sultan Ali Ri`ayat Syah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Perkasa Alam. Namun, Perkasa Alam terlebih dulu mengetahui rencana itu dan lantas meminta perlindungan kepada Sultan Husin di Pedir.
Sultan Ali Ri`ayat Syah semakin murka dan kemudian dilakukanlah serangan yang cukup besar terhadap Pedir. Alhasil, Perkasa Alam dapat ditangkap dan dipenjarakan. Daro balik kurungan, Perkasa Alam mendengar bahaya-bahaya yang terjadi akibat agitasi Portugis dan tidak stabilnya kondisi rakyat Kesultanan Aceh Darussalam karena ketidakbecusan Sultan Ali Ri`ayat Syah. Maka dari itulah, Perkasa Alam kemudian mengirimkan pesan kepada Sultan Ali Ri`ayat Syah bahwa sekiranya dia dibebaskan dari penjara dan diberi perlengkapan senjata, dia berjanji akan dapat mengusir Portugis dari Bumi Serambi Mekkah. Boleh jadi karena Sultan Ali Ri`ayat Syah sudah frustasi dengan kekisruhan yang ditimbulkan oleh Portugis, maka permintaan Perkasa Alam tersebut dikabulkan.
Perkasa Alam kemudian memimpin perang melawan Portugis secara habis-habisan dan hasilnya memang tidak mengecewakan. Sekitar 300 orang serdadu Portugis tewas akibat serangan jitu yang dikomandani Perkasa Alam. Benteng yang diduduki Portugis dapat direbut kembali oleh pasukan Perkasa Alam. Karena mengalami kekalahan terbesar, Portugis memutuskan untuk lari dari Aceh dan mundur ke Malaka. Namun, di tengah jalan mereka berpapasan dengan armada Belanda yang kemudian menyerang mereka sehingga Portugis benar-benar terpukul mundur dan hancur.
Tanggal 4 April 1607, Sultan Ali Ri`ayat Syah mangkat. Terjadilah sedikit ketegangan sepeninggal Sultan Ali Ri`ayat Syah ihwal siapa yang berhak menyandang gelar sebagai Sultan Aceh Darussalam berikutnya. Perkasa Alam muncul sebagai kandidat terkuat karena didukung oleh segenap tokoh adat yang berpengaruh. Tidak seberapa lama, tersiarlah kabar bahwa Perkasa Alam didaulat menjadi penguasa Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan baru inilah yang kemudian terkenal dengan nama Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam. Kendati suasana berlangsung sedikit tegang, namun dalam waktu yang relatif tidak lama, Perkasa Alam atau yang bergelar sebagai Sultan Iskandar Muda, mampu menguasai keadaan dengan mengkoordinir alat-alat pemerintah, sipil, dan militer, sehingga kedudukannya sebagai Sultan Aceh Darussalam semakin teguh.
Perkasa Alam lahir pada 1590. Anak muda gagah perkasa ini adalah keturunan dari pemimpin Aceh Darussalam terdahulu, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar. Perkasa Alam juga dikenal dengan beberapa nama lain, di antaranya Darmawangsa dan Tun Pangkat. Setelah memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam dan menyandang nama Sultan Iskandar Muda, gelarnya pun bertambah sebagai Mahkota Alam. Selain itu, Sultan Aceh Darussalam yang terbesar ini juga dikenal dengan nama kehormatan Sri Perkasa Alam Johan Berdaulat. Kadang-kadang orang menyebutnya dengan menyatukan nama-nama itu, yakni menjadi Perkasa Alam Maharaja Darmawangsa Tun Pangkat.
Berbagai nama dan gelar ini menunjukkan betapa mashurnya Sultan Iskandar Muda, baik di dalam maupun di luar Aceh, di dalam dan di luar kepulauan nusantara, sejak masa itu dan untuk beberapa waktu lamanya, bahkan hingga kini. Di dalam negeri Aceh sendiri tidak ada seorang putra Aceh yang tidak mengenal nama ini dari masa itu. Tiap-tiap orang sampai ke pelosok, tahu siapa Iskandar Muda, demikian sejak beratus-ratus tahun hingga sekarang (Said a, 1981:282).
Setelah berjaya menduduki tahta tertinggi Kesultanan Aceh Darussalam, Perkasa Alam yang bergelar Sultan Iskandar Muda segera merancang program untuk meluaskan wilayah Kesultanan Aceh Darussalam. Beberapa misi yang diusung dalam rangka program tersebut adalah antara lain :
Pemerintahan baru di bawah komando Sultan Muda alias Sultan Ali Ri`ayat Syah ternyata menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa pihak, termasuk dari saudaranya sendiri, yakni Sultan Husin yang berkuasa di Pedir. Rasa tidak puas atas kepemimpinan Sultan Ali Ri`ayat Syah di Kesultanan Aceh Darussalam juga ditunjukkan oleh seorang anak muda yang pemberani, bernama Darma Wangsa atau yang dikenal juga dengan panggilan kehormatan: Perkasa Alam. Karena Sultan Ali Ri`ayat Syah memandang bahwa pergerakan Perkasa Alam cukup membahayakan, maka kemudian Sultan Ali Ri`ayat Syah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Perkasa Alam. Namun, Perkasa Alam terlebih dulu mengetahui rencana itu dan lantas meminta perlindungan kepada Sultan Husin di Pedir.
Sultan Ali Ri`ayat Syah semakin murka dan kemudian dilakukanlah serangan yang cukup besar terhadap Pedir. Alhasil, Perkasa Alam dapat ditangkap dan dipenjarakan. Daro balik kurungan, Perkasa Alam mendengar bahaya-bahaya yang terjadi akibat agitasi Portugis dan tidak stabilnya kondisi rakyat Kesultanan Aceh Darussalam karena ketidakbecusan Sultan Ali Ri`ayat Syah. Maka dari itulah, Perkasa Alam kemudian mengirimkan pesan kepada Sultan Ali Ri`ayat Syah bahwa sekiranya dia dibebaskan dari penjara dan diberi perlengkapan senjata, dia berjanji akan dapat mengusir Portugis dari Bumi Serambi Mekkah. Boleh jadi karena Sultan Ali Ri`ayat Syah sudah frustasi dengan kekisruhan yang ditimbulkan oleh Portugis, maka permintaan Perkasa Alam tersebut dikabulkan.
Perkasa Alam kemudian memimpin perang melawan Portugis secara habis-habisan dan hasilnya memang tidak mengecewakan. Sekitar 300 orang serdadu Portugis tewas akibat serangan jitu yang dikomandani Perkasa Alam. Benteng yang diduduki Portugis dapat direbut kembali oleh pasukan Perkasa Alam. Karena mengalami kekalahan terbesar, Portugis memutuskan untuk lari dari Aceh dan mundur ke Malaka. Namun, di tengah jalan mereka berpapasan dengan armada Belanda yang kemudian menyerang mereka sehingga Portugis benar-benar terpukul mundur dan hancur.
Tanggal 4 April 1607, Sultan Ali Ri`ayat Syah mangkat. Terjadilah sedikit ketegangan sepeninggal Sultan Ali Ri`ayat Syah ihwal siapa yang berhak menyandang gelar sebagai Sultan Aceh Darussalam berikutnya. Perkasa Alam muncul sebagai kandidat terkuat karena didukung oleh segenap tokoh adat yang berpengaruh. Tidak seberapa lama, tersiarlah kabar bahwa Perkasa Alam didaulat menjadi penguasa Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan baru inilah yang kemudian terkenal dengan nama Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam. Kendati suasana berlangsung sedikit tegang, namun dalam waktu yang relatif tidak lama, Perkasa Alam atau yang bergelar sebagai Sultan Iskandar Muda, mampu menguasai keadaan dengan mengkoordinir alat-alat pemerintah, sipil, dan militer, sehingga kedudukannya sebagai Sultan Aceh Darussalam semakin teguh.
Perkasa Alam lahir pada 1590. Anak muda gagah perkasa ini adalah keturunan dari pemimpin Aceh Darussalam terdahulu, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar. Perkasa Alam juga dikenal dengan beberapa nama lain, di antaranya Darmawangsa dan Tun Pangkat. Setelah memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam dan menyandang nama Sultan Iskandar Muda, gelarnya pun bertambah sebagai Mahkota Alam. Selain itu, Sultan Aceh Darussalam yang terbesar ini juga dikenal dengan nama kehormatan Sri Perkasa Alam Johan Berdaulat. Kadang-kadang orang menyebutnya dengan menyatukan nama-nama itu, yakni menjadi Perkasa Alam Maharaja Darmawangsa Tun Pangkat.
Berbagai nama dan gelar ini menunjukkan betapa mashurnya Sultan Iskandar Muda, baik di dalam maupun di luar Aceh, di dalam dan di luar kepulauan nusantara, sejak masa itu dan untuk beberapa waktu lamanya, bahkan hingga kini. Di dalam negeri Aceh sendiri tidak ada seorang putra Aceh yang tidak mengenal nama ini dari masa itu. Tiap-tiap orang sampai ke pelosok, tahu siapa Iskandar Muda, demikian sejak beratus-ratus tahun hingga sekarang (Said a, 1981:282).
Setelah berjaya menduduki tahta tertinggi Kesultanan Aceh Darussalam, Perkasa Alam yang bergelar Sultan Iskandar Muda segera merancang program untuk meluaskan wilayah Kesultanan Aceh Darussalam. Beberapa misi yang diusung dalam rangka program tersebut adalah antara lain :
- Menguasai seluruh negeri dan pelabuhan di sebelah-menyebelah Selat Malaka, dan menetapkan terjaminnya wibawa atas negeri-negeri itu sehingga tidak mungkin kemasukan taktik licik pemecah-belah “devide et impera” yang diterapkan kaum penjajah dari Barat.
- Memukul Johor supaya tidak lagi dapat ditunggangi oleh Portugis ataupun Belanda.
- Memukul negeri-negeri di sebelah timur Malaya, sejauh yang merugikan pedagang-pedagang Aceh dan usahanya untuk mencapai kemenangan dari musuh, seperti Pahang, Patani, dan lain-lain.
- Memukul Portugis dan merampas Malaka.
- Menaikkan harga pasaran hasil bumi untuk ekspor, dengan jalan memusatkan pelabuhan samudera ke satu pelabuhan di Aceh, atau sedikit-dikitnya mengadakan pengawasan yang sempurna sedemikian rupa sehingga kepentingan kerajaan tidak dirugikan (Said a, 1981:285).
Semenjak Sultan Iskandar Muda memegang kendali pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam, wilayah Aceh sendiri di sebelah timur sampai ke Tamiang disusun kembali, dan di sebelah barat, terutama daerah-daerah di luar Aceh yang sudah dikuasai, seperti Natal, Paseman, Tiku, Pariaman, Salida, dan Inderapura, kembali dipercayakan kepada pembesar-pembesar yang cukup berwibawa dan ahli menjalankan tugas untuk mengatur cukai-cukai dan pendapatan lain bagi pemasukan Kesultanan Aceh Darussalam.
Sementara itu, setelah kekalahan Portugis, Belanda pun harus berpikir ulang dalam meneruskan usahanya untuk menduduki Aceh karena memperhitungkan posisi Sultan Iskandar Muda. Maka dari itu, sejak tahun 1606, Belanda lebih memusatkan perhatiannya ke tempat-tempat lain di luar Aceh. Mau tidak mau, Belanda harus memasang siasat dengan mendahulukan kepentingan untuk menguasai tempat-tempat lain, terutama Jawa dan Maluku.
Belanda, di bawah kendali Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, memimpin Hindia Belanda sebanyak dua periode yakni pada 1619–1623 dan 1627–1629, sangat sadar bahwa Aceh saat itu tidak akan bisa dihadapi dengan cara militer. Coen menganggap lebih baik menjalankan politik adu domba atau pemecah belah saja. Tidak hanya Belanda saja yang gentar melihat kebesaran Kesultanan Aceh Darussalam di bawah komando Sultan Iskandar Muda, Inggris pun merasakan kecemasan yang sama. Untuk itulah kemudian Inggris lebih berkonsetrasi untuk beroperasi di daerah-daerah yang bukan menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Kesultanan Aceh Darussalam memiliki angkatan perang yang kuat sehingga mendukung upaya Sultan Iskandar Muda untuk meluaskan daerah kekuasaannya. Dalam masa Sultan Iskandar Muda, seluruh Pantai Barat Sumatra hingga Bengkulu telah berada dalam kuasa Aceh Darussalam. Di tempat-tempat tersebut, terutama di pelabuhannya seperti Pariaman, Tiku, Salida, Indrapura, dan lain-lainnya, ditempatkanlah seorang panglima untuk memimpin masing-masing daerah taklukan. Kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Iskandar Muda juga sudah meluas di seluruh Sumatra Timur. Dengan jatuhnya Pahang, Kedah, Patani, dan Perak, boleh dikatakan masa itu Semenanjung Melayu dengan Sumatra Timur, termasuk Siak, Indragiri, Lingga, serta wilayah-wilayah di selatannya, di mana di dalamnya terdapat Palembang dan Jambi, sudah menjadi bagian dari imperium Kesultanan Aceh Darussalam.
Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh Darussalam mengalami puncak masa keemasan. Permintaan akan lada, yang kala itu menjadi komoditas yang cukup laku di pasaran Eropa, terus meningkat sehingga harganya pun melambung tinggi. Dalam keadaan demikian, bisa dikatakan hampir seluruh bandar dagang dan pelabuhan yang menghasilkan lada di seantero Sumatra dan Malaya, demikian juga dengan hasil-hasil lainnya, termasuk timah, telah berada di dalam koordinasi kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Tidaklah mengherankan jika perekonomian Kesultanan Aceh Darussalam semakin mantap. Kas kesultanan bertambah penuh, pembangunan angkatan perang dapat diselenggarakan dengan lancar, demikian juga dengan pembangunan di sektor-sektor lain.
Di sisi lain, Sultan Iskandar Muda ternyata masih penasaran dengan Portugis yang berlindung di Malaka. Aceh melihat kedudukan Portugis di Malaka merupakan suatu ancaman besar. Kendati sudah dalam kondisi terdesak, Portugis masih saja melakukan kegiatannya dengan menghubungi negeri-negeri kecil yang sudah berada dalam kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Jadi, mau tidak mau Malaka dan Portugis harus dikalahkan dan untuk itu rencana menyerang Malaka tetap merupakan program yang selalu harus dijalankan dengan segera. Realisasi dari rencana itu terjadi pada 1629 di mana angkatan perang Kesultanan Aceh Darussalam menyiapkan pasukan berkekuatan 236 buah kapal dengan 20.000 prajuritnya.
Ketika armada perang Kesultanan Aceh Darussalam tiba di perairan Malaka, terlibatlah pertempuran di laut melawan armada Portugis. Aceh menang telak dalam perang ini sehingga pecahlah kekuatan angkatan laut Portugis. Hal yang sama juga terjadi dalam pertempuran darat. Angkatan perang Aceh Darussalam yang perkasa mengurung laskar tentara Portugis selama berbulan-bulan hingga tidak berkutik. Meski di atas angin, namun Sultan Iskandar Muda ternyata bisa lalai juga. Karena terlalu berkonsentrasi dalam upaya pengepungan, angkatan perang Aceh Darussalam tidak memperhitungkan, dengan tidak mengadakan penjagaan yang ketat di laut, adanya bantuan-bantuan dari luar kepada Portugis. Portugis sendiri telah mengantisipasi strategi pengepungan oleh Aceh Darussalam dengan menyediakan bahan makanan di dalam benteng untuk berbulan-bulan lamanya.
Pemimpin terbesar Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, akhirnya meninggal dunia pada 28 Rajab 1046 Hijiriah atau 27 Desember 1636 Masehi, dalam usia yang relatif masih muda, 46 tahun. Menurut T.H. Zainuddin seperti yang dikutip oleh H. Mohammad Said dalam bukunya bertajuk “Aceh Sepanjang Abad” (Waspada Medan, 1981), Sultan Iskandar Muda mempunyai 3 orang anak. Pertama adalah seorang anak perempuan bernama Puteri Sri Alam, yang merupakan buah hati Sultan dengan Permaisuri dari Reubee. Kedua, dari selir yang berasal dari Habsyi, Sultan Iskandar Muda memperoleh anak lelaki bernama Imam Hitam, yang kelak menurunkan Panglima Polim. Anak terakhir Sultan Iskandar Muda adalah Meurah Peupok, diperoleh dari istri selir yang berasal dari Gayo. Menurut adat serta hukum yang berlaku di Aceh saat itu, anak dari selir tidak bisa diangkat menjadi raja (Said a, 1981:332). Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, eksistensi Kesultanan Aceh Darussalam masih terus berlanjut kendati belum bisa mencapai kejayaan seperti yang diperoleh semasa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
No comments