Mie Aceh Mendunia pasti kamu terkejut
Mie Aceh Mendunia pasti kamu terkejut
Sayuran yang digunakan dalam kuliner Aceh
Kelaparan, saya dan beberapa teman berdiskusi di pinggir jalan. Memastikan warung mana yang akan kami singgahi untuk menyantap makan siang. Tujuan pun tertumpu ke warung mie di depan perempatan. Niat awal mencari warung nasi kami batalkan dengan menyantap mie Dun. Kami pun memarkirkan kendaraaan tepat di depan warung yang berbentuk ruko ini.
Tumisan sayuran di kuliner Aceh
Saya pun bertemu dengan Zulkarnain, pemilik warung mie Dun. Lelaki berkopiah ini bercerita pelan sambil menyiapkan pesanan para pengunjung. Tangannya telaten memotong beragam sayuran, seperti kol, toge, tomat, bawang, hingga cabe. Sesekali ia memastikan api di tungku.
“Nama saya Zulkarnain, tapi orang-orang memanggil saya Dun,” ceritanya tentang asal muasal nama Mie Dun.
Nama panggilannya pun ditasbihkan sebagai tempat usaha. Hal ini biasanya dilakukan para pedagang di Aceh. Para pedagang umumnya menggunakan nama panggilan sebagai nama menu makanan dan nama warung. Maka tak heran, jika Anda berkunjung ke Banda Aceh, Anda akan dengan mudah menemukan nama-nama warung mie, seperti Mie Razali, Mie Cek Baka, Mie Ayah, Mie Midi, Mie Saleh, dan lain-lain. Di sini, Anda tidak akan menemukan warung yang berjualan mie Aceh.
Zulkarnain mengolah mie arang sebagai salah satu kuliner Aceh
“Memasak mie dengan arang kayu membuat mie menjadi lebih enak dan gurih. Mienya lebih terasa matang hingga ke dalam dan harumnya lebih kuat,” jelasnya saat saya tanya alasannya menggunakan arang kayu.
Mie arang sebagai kuliner Aceh sedang dimasak
“Bukan cuma arang bikin mie ini enak, tetapi semuanya. Termasuk mie kuning dan bumbu,” ujarnya berpromosi. Tetapi, ia tidak menjelaskan lebih rinci saat saya tanya bumbu-bumbu yang ia gunakan.
Kemasyhuran Mie Dun sudah ada sejak dulu. Terlebih lagi usaha ini telah dilakoni Zulkarnain sejak tahun 1983. Bahkan, ia sempat membuka cabang di daerah Batoh, di pusat kota Banda Aceh. Cabang Batoh ini dikelola oleh adiknya. Tetapi sayang, usaha tersebut tidak berjalan sempurna.
“Mie Dun hanya ada di sini, tidak ada cabang di tempat lain,” tegasnya.
Zulkarnain mengaduk kuali besar yang penuh dengan mie. Sesekali ia mengambil air kaldu panas di dalam panci yang dipenuhi cangkang kepiting. Air kaldu ini menjadi kuah untuk melembutkan mie saat dimasak. Aromanya khas dan harum. Walau menggunakan arang, menurut saya penyajiannya terbilang cepat. Tidak kalah dibandingkan memasak dengan kompor gas atau kompor minyak.
“Biasanya lebih cepat, ini gara-gara mati lampu jadi tidak bisa hidupkan kipas angin untuk kipas api,” ujarnya sambil menunjuk kipas angin kecil di tepi tungku.
Pelayan membawa mie arang siap saji
Saya memilih menu standar, mie kuah. Ternyata mie dengan menu standar di Mie Dun dilengkapi potongan kepiting dibelah dua! Saya sempat kaget. Sebab tidak semua warung mie di Banda Aceh menyajikan menu standar seperti ini. Bahkan di beberapa gigitan, saya turut merasakan potongan daging walau itu terasa kecil.
Gigitan daging, kepiting terasa begitu lezat. Bukan hanya harum, kuliner Aceh ini juga terasa begitu lezat. Kuahnya kental dan kaya bumbu rempah-rempah. Makin lezat, sebab disiram dengan irisan jeruk nipis dan potongan acar bawang merah yang dicampuri cabe rawit. Duh, enaknya! Bukan itu saja, sajiannya juga dilengkapi dengan kerupuk lemping dan potongan ketimun. Arang juga membuat mie menjadi gurih dan harum. Dan coba tebak harga seporsinya berapa?? Hanya Rp 10 ribu!!! Waduh, saya rasa ini kebangetan! Kuliner Aceh ini bukan hanya lezat, tapi juga murah meriah.
No comments