Mie Aceh Mendunia pasti kamu terkejut
Mie Aceh Mendunia pasti kamu terkejut
Selepas menghadiri pernikahan seorang teman, saya dan beberapa kantor mencari alternatif jalan pulang. Selain mencari pengalaman baru, juga menyempatkan diri mencari makan siang. Perjalanan kami dimulai dari arah Jalan Blang Bintang Lama yang terlihat lengang siang itu. Tanah lapang tersebar hingga ke penghujung arah. Petak-petak sawah sedang digarap. Satu persatu petani mulai terlihat menabur benih padi. Hingga akhirnya, tujuan kami berhenti di perempatan Tungkop, Aceh Besar. Kawasan ini tidak terlalu jauh dari kampus Universitas Syiah Kuala (Unsyiah).
Kelaparan, saya dan beberapa teman berdiskusi di pinggir jalan. Memastikan warung mana yang akan kami singgahi untuk menyantap makan siang. Tujuan pun tertumpu ke warung mie di depan perempatan. Niat awal mencari warung nasi kami batalkan dengan menyantap mie Dun. Kami pun memarkirkan kendaraaan tepat di depan warung yang berbentuk ruko ini.
Untuk kawasan Darussalam dan Tungkop, warung Mie Dun termasuk salah satu tempat kuliner Aceh yang paling populer. Hampir rata-rata pegawai kantoran, mahasiswa, hingga pedagang menjadikan tempat ini sebagai salah satu lokasi untuk menyantap mie. Bukan hanya citarasanya yang gurih dan enak, tetapi juga penyajiannya yang berbeda.
Saya pun bertemu dengan Zulkarnain, pemilik warung mie Dun. Lelaki berkopiah ini bercerita pelan sambil menyiapkan pesanan para pengunjung. Tangannya telaten memotong beragam sayuran, seperti kol, toge, tomat, bawang, hingga cabe. Sesekali ia memastikan api di tungku.
“Nama saya Zulkarnain, tapi orang-orang memanggil saya Dun,” ceritanya tentang asal muasal nama Mie Dun.
Nama panggilannya pun ditasbihkan sebagai tempat usaha. Hal ini biasanya dilakukan para pedagang di Aceh. Para pedagang umumnya menggunakan nama panggilan sebagai nama menu makanan dan nama warung. Maka tak heran, jika Anda berkunjung ke Banda Aceh, Anda akan dengan mudah menemukan nama-nama warung mie, seperti Mie Razali, Mie Cek Baka, Mie Ayah, Mie Midi, Mie Saleh, dan lain-lain. Di sini, Anda tidak akan menemukan warung yang berjualan mie Aceh.
Penyajian kuliner Aceh Mie Dun berbeda jika dibandingkan dengan mie-mie lainnya di Banda Aceh. Umumnya, warung mie yang terkenal di Banda Aceh memasak mie menggunakan kompor gas atau kompor minyak. Mungkin ini didasari agar penyajiannya lebih cepat dan pengunjung tidak perlu menunggu lama. Tetapi, hal ini tidak berlaku di Mie Dun. Zulkarnain menggunakan arang kayu untuk memasak mie mulai dari menumis bumbu, merebus air, hingga memasak mie. Maka tak heran, saya melihat berkarung-karung arang kayu di dekat meja masaknya.
“Memasak mie dengan arang kayu membuat mie menjadi lebih enak dan gurih. Mienya lebih terasa matang hingga ke dalam dan harumnya lebih kuat,” jelasnya saat saya tanya alasannya menggunakan arang kayu.
Setiap hari, Zulkarnain menghabiskan sekitar 50 kg mie kuning. Mie kuning ini dibuat dan diolahnya sendiri. Bukan buatan pabrik. Sehingga mie terasa lebih sehat. Bahkan warna mie lebih pudar, tidak mencolok layaknya mie pada umumnya. Sebab warna mie berasal dari bumbu kunyit, bukan pewarna.
“Bukan cuma arang bikin mie ini enak, tetapi semuanya. Termasuk mie kuning dan bumbu,” ujarnya berpromosi. Tetapi, ia tidak menjelaskan lebih rinci saat saya tanya bumbu-bumbu yang ia gunakan.
Kemasyhuran Mie Dun sudah ada sejak dulu. Terlebih lagi usaha ini telah dilakoni Zulkarnain sejak tahun 1983. Bahkan, ia sempat membuka cabang di daerah Batoh, di pusat kota Banda Aceh. Cabang Batoh ini dikelola oleh adiknya. Tetapi sayang, usaha tersebut tidak berjalan sempurna.
“Mie Dun hanya ada di sini, tidak ada cabang di tempat lain,” tegasnya.
Zulkarnain mengaduk kuali besar yang penuh dengan mie. Sesekali ia mengambil air kaldu panas di dalam panci yang dipenuhi cangkang kepiting. Air kaldu ini menjadi kuah untuk melembutkan mie saat dimasak. Aromanya khas dan harum. Walau menggunakan arang, menurut saya penyajiannya terbilang cepat. Tidak kalah dibandingkan memasak dengan kompor gas atau kompor minyak.
“Biasanya lebih cepat, ini gara-gara mati lampu jadi tidak bisa hidupkan kipas angin untuk kipas api,” ujarnya sambil menunjuk kipas angin kecil di tepi tungku.
Mie Dun menyajikan beragam menu. Baik mie goreng, mie kuah, atau mie basah. Saya memilih mie kuah untuk merasakan kelezatannya yang lebih kentara. Selain penyajian, campuran mie-nya pun bisa dipilih. Bisa menggunakan telur, kepiting, daging, atau udang.
Saya memilih menu standar, mie kuah. Ternyata mie dengan menu standar di Mie Dun dilengkapi potongan kepiting dibelah dua! Saya sempat kaget. Sebab tidak semua warung mie di Banda Aceh menyajikan menu standar seperti ini. Bahkan di beberapa gigitan, saya turut merasakan potongan daging walau itu terasa kecil.
Gigitan daging, kepiting terasa begitu lezat. Bukan hanya harum, kuliner Aceh ini juga terasa begitu lezat. Kuahnya kental dan kaya bumbu rempah-rempah. Makin lezat, sebab disiram dengan irisan jeruk nipis dan potongan acar bawang merah yang dicampuri cabe rawit. Duh, enaknya! Bukan itu saja, sajiannya juga dilengkapi dengan kerupuk lemping dan potongan ketimun. Arang juga membuat mie menjadi gurih dan harum. Dan coba tebak harga seporsinya berapa?? Hanya Rp 10 ribu!!! Waduh, saya rasa ini kebangetan! Kuliner Aceh ini bukan hanya lezat, tapi juga murah meriah.
No comments